KISAH ALMARHUM GALANG




2010
02.11
KETIKA Galang lahir pada 1 Januari 1982 si bapak, yang perasaannya campur-aduk karena pertama kali merasakan diri jadi ayah—merasa harus bertanggung jawab, merasa mencintai, heran, bahagia, bangga punya keturunan dan sebagainya—menciptakan lagu berjudul Galang Rambu Anarki. Lagunya cukup terkenal dan masuk album Opini (1982).
Galang tumbuh jadi anak cerdas. Endi Aras sering main tembak-tembakan dengan Galang. Muhamad Ma’mun punya karakter rekaan yang sering diceritakannya pada Galang. Namanya “Gringgrong”—seorang jagoan “kayak Tarzan” yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh. Tiap kali Ma’mun datang menginap, cerita Gringgong ditagih Galang. Di Condet hanya ada dua kamar, “Kalau saya nginep, Galang tidur sama bapaknya,” kata Ma’mun.
Ketika beranjak remaja, Ma’mun melihat Galang badannya bagus, berbentuk. Galang bukan tipe anak hura-hura. Kalau minta uang paling buat bayar taksi pergi ke sekolah. “Untuk beli-beli dia nggak punya uang,” kata Iwan. Galang juga besar tekadnya. Suatu saat Galang, yang belum bisa menyetir mobil dan tak punya surat izin mengemudi, ingin bisa mengendarai mobil. Solusinya? Galang mengendarai mobil sekaligus dari Jakarta ke Pulau Bali!
Tapi kekerasan Galang suatu hari membuat Iwan angkat tangan. Dia datang ke Ma’mun, “Mas gimana nih, Galang nggak mau sekolah lagi?”
“Terus maunya apa?”
“Embuh, main musik atau buka bengkel.”
Galang memutuskan keluar dari SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, yang terletak dekat rumah dan termasuk salah satu sekolah mahal di Jakarta. Iwan sering pindah rumah dan waktu itu tinggal di Bintaro. Hingga Leuwinanggung ia sudah pindah rumah 12 kali. Usia Galang 14 tahun dan sedang memproduksi rekamannya yang pertama bersama kelompok Bunga. Iwan tak bisa berbuat banyak dan membiarkan Galang putus sekolah.
Galang pernah juga kabur meninggalkan rumah. Dalam pelarian, menurut Iwan, Galang melihat poster dan foto papanya di mana-mana. “Dia merasa diawasi,” kata Iwan. Galang merasa tak bisa lari dan kembali ke rumah.
Suatu saat Iwan curiga. Iwan bertanya, “Lang, lu pakai ya?”
“Mau apa tahu Pa?” kata Galang, ditirukan Iwan.
Iwan menganggap dirinya sudah insyaf. Kok Galang yang memakai? Iwan merasa Galang meniru papanya. Mula-mula rokok lalu obat. Endi Aras mengatakan Iwan agak teledor kalau menyimpan ganja atau merokok.
Galang menerangkan dia hanya mencoba. Rasanya pusing serta teler. “Ya udah, kalau sudah tahu ya udah,” kata Iwan.
Kebetulan Galang punya pacar, seorang cewek gaul bernama Inne Febrianti, yang juga keberatan Galang memakai obat-obatan. Inne mendorong Galang tak memakai obat-obatan.
“Dia bukan pemakai. Dia sangat cinta pada keluarganya. Kontrol diri sangat kuat,” kata Iwan.
Kamis malam 24 April 1997 sekitar pukul 11:00 malam Galang pulang ke rumah, setelah latihan main band. Dia makan lalu pamit pada papanya mau tidur. Mamanya lagi tak enak badan. Iwan masih mendengar Galang telepon-teleponan.
Subuh sekitar 4:30 Kelly Bayu Saputra, sepupu Galang yang tinggal di sana, mau mengambil sisir di kamar Galang. Kelly memanggil Galang tapi tak bangun. Kelly mendekati Galang dan menggoyang-goyangkan badannya. Lemas. Kelly kaget. Dia mengetuk kamar Yos. Yos bangun dan menemukan Galang badannya dingin. “Saya turun ke bawah, panggil Iwan,” kata Yos.
Keluarga heboh. Iwan terpukul sekali. Pagi itu saudara-saudaranya datang. Mereka menghubungi semua kerabat dan teman. Leo Listianto, adik Iwan, menelepon Ma’mun di Karawaci. “Saya masih tidur, antara percaya, tidak percaya,” kata Ma’mun.
Sepuluh menit kemudian, Ma’mun ditelepon Dyah Retno Wulan, adiknya Leo, biasa dipanggil Lala, juga memberitahu Galang meninggal. “Saya bengong,” kata Ma’mun. Dia segera menuju Bintaro.
Fidiana menerima telepon dari Ari Ayunir. Fidiana membangunkan Iwang Noorsaid, suaminya, “Wang, ini ada berita duka … Galang meninggal.” Mereka agak tak percaya karena beberapa hari sebelumnya pasangan ini bertamu ke Bintaro dan melihat Galang mondar-mandir. Mereka mencoba telepon ke Bintaro tapi nada sibuk. Mereka menelepon Herri Buchaeri, Endi Aras, dan beberapa rekan lain sebelum naik mobil ke Bintaro.
Endi Aras mengatakan, “Pagi-pagi aku dapat kabar. Iwang Noorsaid yang telepon.” Endi sampai di Bintaro sekitar pukul 5:30. “Aku ikut memandikan (jasad Galang),” kata Endi.
Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, “Galang, kamu sudah selesai, Papa yang belum … Lang, kamu sudah selesai, Papa yang belum ..…” Kalimat itu diucapkan Iwan berkali-kali.
Ma’mun dirangkul Iwan. “Jagain Mas, jagain anak-anak Mas,” kata Iwan, seakan-akan hendak mengatakan ia sendiri kurang menjaga anaknya dengan baik.
“Yos histeris, menangis ketika saya peluk. ‘Aduh, anak saya sudah meninggal mendahului saya,’” kata Fidiana. Iwan tak banyak bicara, menunduk, menangis, dan hanya bilang “terima kasih” kepada tamu-tamu. “Kepada kita dia nggak ngomong sama sekali,” kata Fidiana.
Galang dimakamkan di mana? Ada usul pemakaman Tanah Kusir dekat Bintaro. Iwan emosional, ingin memakamkan Galang di rumahnya. Bagaimana aturannya? Iwan pun memutuskan menelepon kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari Nahdlatul Ulama. Saat itu Gus Dur belum jadi presiden Indonesia. Iwan menganggap Gus Dur “guru mengaji” yang terbuka, tempat orang bertanya. Gus Dur mengerti hukum Islam maupun hukum pemerintahan.
Gus Dur dalam telepon menjelaskan dalam aturan Islam diperbolehkan memakamkan jenazah di rumah. Pemakaman bergantung wasiat almarhum atau keinginan keluarga. Tapi di Jakarta tak bisa memakamkan orang di rumah sendiri karena keterbatasan lahan. “Di Jakarta nggak boleh … kalau Bogor boleh.”
Kata “Bogor” itu mengingatkan Iwan pada Leuwinanggung. Keluarga pun memutuskan Galang dimakamkan di Leuwinanggung.
Menurut Harun Zakaria, seorang tetangga Iwan di Leuwinanggung, yang juga menjaga kebun Iwan, dia dihubungi Lies Suudiyah, ibunda Iwan. “Bu Lies datang ke sini. Dia bilang, ‘Cucunda meninggal. Tolong di sini kuburannya,” kata Harun.
Jenazah disemayamkan dulu di masjid Bintaro. Sekitar 2.000 jamaah salat Jumat di masjid itu ikut menyembahyangkan Galang. Banyak seniman, tetangga, kenalan Iwan, dan Yos datang menyampaikan duka. Setiawan Djody, W.S. Rendra, Ayu Ayunir, Jalu, Totok Tewel, Jockie Suryoprayogo, juga tampak di sana. Spekulasi wartawan maupun pengunjung memunculkan gosip bahwa dada Galang kelihatan biru. Galang digosipkan overdosis. Ini merambat ke mana-mana karena tubuh Galang kurus ceking.
Orang sebenarnya tak tahu persis penyebab kematian Galang karena tak ada otopsi terhadap jenazahnya. Kawan-kawan Iwan memilih diam. Mereka merasa tak nyaman mengecek spekulasi overdosis kepada orangtua yang berduka. Kresnowati pernah diberitahu Yos bahwa penyebab kematian Galang penyakit asma. Fidiana mengatakan beberapa hari sebelum kematian, Yos mengatakan Galang lagi sakit-sakitan. Iwan mengatakan pada saya, fisik Galang “agak lemah” dan “Galang lemah di pencernaan.”
Namun Iwan dan Ma’mun menyangkal spekulasi overdosis. Galang memang mencoba obat-obatan tapi tak serius. Iwan mengatakan dua bulan sebelum meninggal, Galang “sudah bersih.” Iwan percaya anaknya punya kontrol diri.
Menurut teman-temannya, Yos menilai petualangan Galang merupakan protes terhadap Iwan. Galang butuh perhatian papanya tapi Iwan terlalu sibuk. Yos di mata mereka lebih tabah menghadapi kematian Galang. Iwan lebih terpukul dan menyesal. “Setelah Galang meninggal, dia sudah nggak nggelek-nggelek. Salatnya sudah rajin,” kata Endi Aras.
September lalu di keheningan Leuwinanggung, saya tanyakan pada Iwan bagaimana perasaannya sekarang, lima tahun setelah kematian Galang.
Dia menggeser posisi duduknya dan mengatakan, “Sampai sekarang masih ngimpi, terutama zaman manis-manisnya ketika Galang masih kecil.”
Iwan mengatakan kalau bercermin pada masa-masa ketika Galang masih ada, dia melihat kekurangan-kekurangannya sebagai suami maupun ayah. “(Kematian Galang) membuat saya menghargai fungsi bapak, fungsi suami. Kalau saya dulu bisa lebih bersahabat, jadi gurunya, jadi lawannya, mungkin akan lain ceritanya.”
“Tapi ini semua nggak bisa dibalik.”
Diambil hikmahnya, Iwan bercerita bahwa kematian Galang jadi “api” buat dirinya dalam bermusik.
“Dia pilih musik, bahkan dia keluar sekolah. Dia mau menikah waktu itu. Dia percaya musik bisa menghidupi istrinya. Masakan saya nggak berani … rasanya di sini senep (sesak) … hoooaah … dari sini senep … apalagi kalau kenangan-kenangan itu datang,” kata Iwan. Dia tiba-tiba berteriak, “Hoooooooaaaaah ….”
Saya mengalihkan pandangan mata saya dari mata Iwan. Dia menelungkupkan kedua tangannya di dada. Kami diam sejenak. Saya minta maaf karena mengingatkannya pada kematian Galang. Iwan bilang tak apa-apa. “Kadang-kadang kalau lagi sedih … senep. Tapi kalau lagi senang ya lupa